Cerpen persahabatan judul " Pohon Impian " - Inspiratif

Pengarang : ms wijaya
   Pohon Impian

 Aku merunduk, menyembunyikan tubuhku dibalik pohon mangga besar yang tengah berbunga. Sebentar lagi ia akan berbuah lebat pastinya dan setiap mata yang melihat buah mangganya yang ranum pasti ingin memetiknya. Karena buahnya yang besar dan manis terkenal seantero kampung ini. Baiknya lagi, sang pemilik menyiapkan galah bagi siapa saja yang ingin mengambilnya. Namun dengan satu syarat, setiap orang hanya boleh mengambil satu buah sahaja.
         
    Aishh apa-apaan ini?? Aku sebenarnya tak bermaksud untuk menceritakan perihal sejarah pohon mangga tempatku berhinggap kini. Tapi adalah alasanku bersembunyi dibalik kokohnya pohon mangga ini. Karena tak lain aku bersembunyi dari satu manusia menjengkelkan sekaligus menyenangkan (aku bahkan tak bisa mengerti bagaimana
menggabungkan kata menjengkelkan sekaligus menyenangkan dalam ekspresi wajah) yang kini tengah duduk bersila beralaskan tikar, dengan santainya ia duduk disana ditemani semilir angin sore yang bergerak lembut dan rindangnya pohon mangga mandul yang bertolak belakang dengan pohon tempat ku bersembunyi kini.

Cerita pendek persahabatan


         Namanya Satria, ia anak laki-laki dari pemilik areal tanah ini. Termasuk pohon mangga ini. Dulu ayahnya yang sering duduk bercerita tentang dongeng-dongeng indah dan penuh nilai-nilai kehidupan kepada anak-anak kampung sekitar. Bila musim mangga tiba, tersedia dua sampai tiga piring penuh potongan mangga sebagai kudapan sambil mendengarkan cerita. Aku
biasanya duduk paling depan karena tak mau ketinggalan akan dongeng dan cerita yang membuatku menggantungkan mimpiku setinggi langit.

       Kudengar derai tawa dan celoteh anak-anak riuh memecah keheningan sore yang
khidmat. Mereka datang bergerombol dari arah belakangku, berjalan melewatiku. Aku
tersenyum saat mereka memberikan senyuman cerah dan polos.
   
      "Ayo kak ikut."  ujar seorang anak perempuan berusia tujuh tahun itu lalu menggandengku menuju gerombolan teman-temannya yang sudah duduk manis dan rapi diatas tikar yang digelar oleh Satria tadi.

      Satria terlihat kaget saat aku ikut duduk diantara anak-anak, memang aku tak memberi tahu dirinya bahwa aku akan datang. Aku hanya tersenyum dan membiarkan dirinya menjalankan tugasnya seperti biasa, mendongeng sambil menyisipkan nilai-nilai luhur dalam dongengnya sama seperti yang biasa dilakukan ayahnya.



     "Gimana ibu kota Ra?." tanya Satria sambil mengunyah singkong rebus yang tadi dibawakan oleh ibunya untuk anak-anak namun belum habis.

 "Ya begitulah, semakin padat dan berpolusi" jawabku tertunduk malu.

  "Kamu nggak mau coba lagi?"  Tanyaku pada Satria, la malah menerawang ke langit yang sebentar lagi akan gelap. Ia tahu betul maksud pertanyaanku itu.

     Ingatanku kembali ke tiga tahun lalu. Saat kita berdua, merantau ke ibu kota untuk meraih cita-cita yang kami gantung dilangit yang sama kala itu. Pohon inilah yang menjadi saksi mimpi-mimpi aku dan Satria. Bahkan mimpi-mimpi kami, anak-anak desa ini untuk menjadi apa saja seperti yang mereka cita-citakan. Satria selalu ingin menjadi Pilot yang menerbangkan burung besi dan melihat keindahan dunia dari atas cakrawala. Sedangkan aku hanya gadis kecil yang bermimpi menjadi seorang penyanyi ibu kota yang terkenal. Dan aku berhasil meraihnya berkat semangat ayah Satria yang selalu berkata "semua mimpi kita mungkin tercapai asalkan kita berusaha"kala itu, dan itu tertanam dengan kuat di hatiku.

   Sedangkan Satria, ia gagal masuk menjadi Pilot. Bukan karena tidak berusaha, ia sudah berusaha keras untuk meraih cita-citanya itu dan tingal mengikuti tes terakhir untuk menjadi seorang pilot. Namun saat hari H tes tersebut, Ayah Satria meninggal sehingga ia harus kembali ke desa. Dan ia lebih memilih menetap di desa sampai saat ini.

  "Nggak Ra, aku cukup senang berada disini. Bantu ibu, ngurus kebun, nemenin ibu, berbagi kepada anak-anak seperti yang dilakukan bapak dulu. Bagiku itu semua sudah cukup." ujarnya tak menatap mataku. Matanya masih menerawang ke angkasa.

     "Tapi..."

    "Kamu tahu singkong ini bisa dijadikan apa saja Ra? bisa dijadikan combro, misro bahkan sampai brownies. Tapi harus selalu ada singkong untuk membuat itu semua" Ia
memotong ucapanku, sepertinya ia tahu aku akan membantah dan mendebatnya lagi seperti yang sering aku lakukan.

  "Aku menetap disini mencoba untuk menggantikan bapak, menggantikan tugas bapak untuk menumbuhkan anak-anak disini agar bercita-cita tinggi tak peduli keadaan mereka. Lagi pula siapa lagi kalau bukan aku Ra? Walaupun bapak nggak meminta langsung untuk menggantikannya, tapi aku seperti mempunyai kewajiban itu. Biarkan sayapku patah asalkan anak-anak disini bisa terbang tinggi" Aku diam tak membantahnya kini.

    "Aku ingin melihat mereka seperti kamu ra, Tara Amelia seorang bintang besar ibu kota. Lihat betapa bangga Bapak kalau tahu akhirnya cita-cita kamu berhasil kamu raih.
Begitupun aku, aku ingin melihat suatu saat anak-anak disini menemukan jalannya masing-masing. Berhasil meraih mimpinya itu Ra" ujarnya dengan penuh harap, terselip harapan yang besar di dalamnya.

   Langit sudah semakin gelap, aku dan Satria lebih banyak diam setelah percakapan terakhir. Kami berjalan beriringan tanpa kata meninggalkan pohon impian yang akan terus hidup menemani anak-anak untuk menggapai mimpinya dan seorang laki-laki penuh impian akan selalu berada dibawahnya untuk bercerita tentang cita-cita yang harus tercapai bagaimanpun caranya.

4 Komentar